Prospek Pertumbuhan Melemah, Investor Emerging Market Beralih dari ETF dengan Eksposur China
Thursday, February 15, 2024       16:32 WIB

Ipotnews - Para investor emerging market di AS memborong reksadana yang diperdagangkan di bursa (ETF) yang tidak memasukkan China, dan meninggalkan reksadana yang berfokus pada China. Prospek pertumbuhan yang melemah telah menyebabkan harga saham-saham di negara dengan perekonomian terbesar kedaua di dunia itu, tertinggal dari pasar lain.
Analisis  Financial Times  terhadap data ETF.com menunjukkan, arus modal masuk bersih ke delapan ETF  emerging market , tidak termsuk China,   yang terdaftar di AS meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi USD5,3 miliar pada tahun lalu dibanding tahun sebelumnya.
Kondisi itu terjadi ketika 55 ETF yang berfokus pada China mengalami arus keluar bersih gabungan sebesar USD802 juta pada tahun 2023, berbalik arah dari arus masuk sebesar USD7,5 miliar pada tahun sebelumnya.
Perubahan permintaan mempertegas bagaimana investor global mengurangi eksposur ke China, yang telah lama menjadi negara terbesar di sebagian besar portofolio EM. Ketegangan geopolitik dan meningkatnya intervensi negara dalam perekonomian telah membebani pasar modal negara ini ketiuka harga saham di negara EM lainnya bergerak menguat.
"Korelasi saham-saham China dengan negara utama lainnya di EM telah benar-benar runtuh dalam beberapa tahun terakhir," kata David Dali, kepala Strategi Portofolio di Matthews Asia, San Francisco. "Tentu saja ada persentase investor kami yang lebih memilih untuk tidak memasukkan China ke dalam portofolio mereka sama sekali dan [solusinya] adalah versi EM tanpa China," imbuhnya, seperti dikutip Financial Times, Kamis (15/2).

Para manajer investasi telah menawarkan ETF EM yang tidak menyertakan RRT sejak awal tahun 2015, ketika ekonomi negara ini masih berkembang pesat dan penyedia indeks seperti MSCI juga berencana untuk meningkatkan pembobotannya di indeks EM hingga mencapai 40%.
Marc Zeitoun,  chief operating officer  Columbia Threadneedle Investments Amerika Utara, mengatakan perusahaannya meluncurkan ETF EM Core ex-China, yang pertama dari jenisnya, pada tahun itu setelah para klien menyarankan bahwa "terlalu banyak berkonsentrasi pada China" mungkin tidak akan membantu para investor di EM untuk mendapatkan "eksposur yang  simple  dan luas," ujarnya.
Namun, ide tersebut baru populer pada tahun 2021 ketika tindakan keras Beijing terhadap kelompok-kelompok perusahaan swasta, yang dipimpin oleh Ant Group milik Jack Ma, menyebabkan kejatuhan pada perusahaan-perusahaan teknologi China yang terdaftar di AS.
"Ini [adalah] awal mula investasi di China dikaitkan dengan risiko yang tidak ada di wilayah lain," kata Zeitoun, "Orang-orang mulai mengatakan saya lebih suka memiliki solusi EM non-Tiongkok."
Ketika pemulihan pasca-pandemi di China tersendat karena krisis real estat yang berkepanjangan dan kurangnya kepercayaan sektor swasta, pasar saham China mengalami  rollercoaster . Indeks acuan CSI300 telah jatuh lebih dari 20 persen sejak Januari lalu. Sebagian dari kejatuhan itu mulai pulih setelah gelombang pembelian ETF lokal yang dipimpin oleh pemerintah dalam beberapa pekan terakhir.
Volatilitas telah memicu eksodus modal asing termasuk melalui ETF yang terdaftar di AS dan berfokus pada China. Nilainya mencapai 7,7 persen dari kepemilikan penduduk AS atas saham-saham China dan Hongkong pada November lalu, atau sekitar USD23 miliar.
Menurut portal industri ETF.com, ETF yang berfokus pada China telah mengalami arus keluar modal tiga kuartal berturut-turut, sejak April lalu.
"Pertumbuhan China melambat dan tidak seperti dulu lagi," kata Angela Miller-May, kepala investasi Illinois Municipal Retirement Fund. Ia dan menambahkan bahwa reksadana yang dikelola perusahannya memiliki eksposur yang "minimal" terhadap China.
Meskipun ekuitas China turun 11,4 persen pada tahun 2023, negara  emerging market  lainnya menguat di tengah harapan reformasi ekonomi dan lingkungan internasional yang mendukung. India dan Meksiko, dua penerima manfaat dari upaya AS untuk mendiversifikasi rantai pasokan dari China, melaporkan lonjakan sebesar 19 persen dan 16 persen dalam indeks saham acuan mereka tahun lalu.
Sementara itu, besaran saet-aset China, yang mencapai seperempat dari MSCI Emerging Markets Index, berarti bahwa penurunannya dapat menyebabkan investor indeks kehilangan uang bahkan ketika negara-negara lain di EM tetap bertahan.
Perbedaan China dengan EM lainnya telah mendorong lebih banyak investor untuk mempertimbangkan ETF EM, yang membatasi eksposurnya ke China atau menghentikannya sama sekali. "Dalam EM ada terlalu banyak fokus pada China," kata Rajiv Jain, kepala investasi GQG Partners. "tetapi EM lainnya baik-baik saja," ia menambahkan.
Reksadana Ekuitas EM unggulan GQG telah memangkas alokasinya ke pasar China menjadi 5 persen dari sebelumnya 40 persen, dan memindahkan modalnya ke pasardii India hingga Arab Saudi selama lima tahun terakhir.
Perlombaan untuk melepaskan diri dari ETF yang mengancung aset China, tidak berarti bahwa investor telah kehilangan minat mereka pada aset negara itu. Beberapa manajer investasi ETF mengatakan dengan besaran China dan kondisi kebijakannya yang tidak menentu, berarti lebih masuk akal untuk memperlakukan negara ini sebagai bagian terpisah dari dunia investasi mana pun.
"Bukan berarti investor tidak menyukai China," kata Dali dari Matthews Asia. "Hanya saja mereka lebih memilih seorang spesialis untuk mengelola negara yang menjadi sangat rumit untuk menghasilkan imbal hasil yang lebih."
Zeitoun dari Columbia Threadneedle mengatakan bahwa perusahaannya masih menyediakan reksadana EM yang dikelola secara aktif dengan eksposur China.
"Semua yang kami lakukan adalah memungkinkan investor untuk mengkalibrasi seberapa banyak China yang mereka inginkan, bukan untuk menghapusnya sama sekali," ujarnya. (Financial Times)

Sumber : admin

berita terbaru